Hampir setiap sore sekitar pukul 19.00, anak-anak berseragam putih abu-abu
berdiri di pinggir jalanan pasar dekat rumah, sembari membawa lembaran-lembaran
brosur gadged terbaru, tangan-tangan menengadah, menyodorkan brosur-brosur
tersebut ke setiap pengguna jalan yang hilir mudik bersama riuhnya pasar.
Entahlah, mungkin pemilik konter menggunakan momen tersebut sebagai tempat
strategis memperkenalkan produk-produk barunya, atau juga itu memang SOP dari
tatanan marketing dan jiwa sosialis yang diajarkan kepada siswa magang.
Beberapa kali saya yang melintas, tak enak hati dan selalu menerima uluran
tangan si gadis berpakaian putih abu-abu, meski agak kesusahan menerima uluran
tangan tersebut, canggung menyambar lembaran (yang ternyata maaf juga tidak penting ) dan
menantingnya sampai kerumah. Saya berfikir harus menerima brosur tersebut,
bukan alasan apa, hanya terbayang bagaimana mental gadis tersebut harus
terbentuk dari tekanan ruwetnya masa, bukan waktu yang ia kehendaki, malu,
letih, atau mungkin kecewa, tidak tahu apa yang dapat ia ambil dari belajar
marketing di jalan.
Hal itu menjadi masalah tersendiri bagi saya, karena apa mungkin saya yang
terlalu bodoh, tidak bisa menerima bahwa anak-anak sekolah itu sedang
menjalankan tugas sekolah. Belajar marketing dari konter, dari tempat magang,
mereka mendapat pelajaran aplikatif . Yang tentunya jadwal kerja disamakan
dengan karyawati konter. Sekali lagi, apa mungkin saya yang kurang terbiasa
dengan teori pembelajaran demikian. Tak nyaman melihat gadis-gadis cantik
berseragam putih abu-abu masih di prospek mentalnya di tempat ia magang pada
waktu yang tidak tepat.
Yang saya tahu, mereka menjalankan tugas tersebut dengan sangat terpaksa,
yang biasanya mereka sudah berkumpul dengan keluarga, atau malah sudah membaca
buku, mengerjakan tugas tulis diruang tamu, ada yang mengaji dan lainnya masih
harus mengejar target habis brosur. Jika yang demikian dilakukan sebagai
metode pembekalan mental siswa, pengetahuan lapang, dan sebagai edukasi sosial
kepada masyarakat atau yang disebut humas, semoga tidak malah membebani siswa
itu sendiri, menciutkan nyali serta membunuh kreatifitasnya.
Dari permasalahan diatas, saya ingin mengangkat visi-misi sekolah sebagai
pegangan menjadikan para siswa memiliki jiwa entrepreneur. Tentu sekolah
mengharapkan siswa mampu melihat permasalahan-permasalahan di sekitar, sehingga
ketika masa belajar di tingkat atas sudah diselesaikan dengan baik, siswa akan
menjadi manusia yang solutif. Dengan kegiatan magang di tempat-tempat kerja,
sekolah ingin meningkatkan kemampuan siswa diantaranya, mengenal dunia kerja,
menumbuhkan jiwa entrepreneur, membangun komunikasi, marketing edukasi serta
kemampuan membangun mental yang tahan banting.
Tentu visi-misi sekolah haruslah di sengkuyung oleh semua elemen masyarakat,
dengan harapan bersama, generasi kedepan akan mampu membawa tanah air ke
perubahan yang madani.
Kembali lagi, jika kita sepakat pembelajaran yang diberikan kepada siswa
meliputi menumbuhkan jiwa entrepreneur, membangun komunikasi, marketing edukasi,
respon , respek , peduli, serta kecakapan skill dan spiritual. Pertanyaan yang
perlu di uraikan oleh para stakeholder adalah, metode dan sistem yang seperti
apa? Agar edukasi terserap dengan baik oleh siswa.
Magang atau belajar adalah upaya sekolah merealisasikan tujuan tersebut.
Jika sudah dilaksanakan, akan timbul permasalahan lagi, bagaimana metode dan
sistem yang benar dalam tatalaksana proses magang atau belajar aplikatif di
lapangan?
Begitulah perbaikan sistem, dilaksanakan, efaluasi, laksanakan, efaluasi dan
seterusnya. Harapan kami, sistem magang di tingkat sekolah bisa di efaluasi
terus menerus hingga ketemu dengan sistem perbaikan yang pas, atau
setidaknya tidak salah urus.
Namun jika dicermati, efaluasi bukan terletak pada bagaimana kita melaksanakan
magang dan dimana kita akan menempatkan si siswa untuk magang semata. Jika
efaluasi dilakukan dari dasar masalah, atau bagaimana agar kemampuan kognitif,
efektif dan psikomotorik siswa bisa terealisasi, bisa saja kita menghilangkan
sistem magang seperti yang ada selama ini.
Meningkatkan respon, peduli lingkungan misalnya, metode sharing bisa
dilakukan setiap hari di kelas, berdiskusi ,bagaimana siswa melihat
peluang-peluang yang ada di sekitar, mendata masalah sosial,seperti mahalnya
sayuran organik, kurangnya minat baca, masih suka minta uang saku ke orang tua,
jarang di rumah, suka keluar malam dan lain-lain. Dari masalah tersebut, siswa
di tuntut untuk mencari solusi sendiri, apa yang harus mereka lakukan, sehingga
mereka akan aktif berfikir, menemukan gagasan, jika sudah ketemu solusi,
seperti belajar menanam sawi organik untuk menanggulangi mahalnya sawi organik.
Dari solusi tersebut, siswa lebih gamblang dalam menentukan pelajaran apa yang
perlu ia tekuni, karena sudah mengerti dengan kebutuhannya . Pihak sekolah
tinggal mencari link untuk mentransfer kebutuhan belajar siswa ke para ahli di
bidangnya. Jika siswa ingin belajar menanam sayur organik, sekolah menyiapkan
guru pertanian di sekolah, jika siswa membutuhkan pakar sosiolog, agar dia tidak
suka keluar malam, sekolah menyiapkan guru sosiologi atau guru bimbingan
konseling, jika siswa tahu tidak bisa menghitung hasil jual sawinya tadi, maka
dia akan membutuhkan guru ekonomi, pihak sekolah tetap menajdi fasilitator dan
pendamping yang baik.
Untuk permasalahan tempat belajar, tentu bisa di mana saja, jika di lingkup
sekolah tersedia, maka pembelajaran dilakukan seperti biasa, namun jika sekolah
belum tersedia, bisa di salurkan ke instansi-instansi yang berpotensi memajukan
pembelajaran. Sehingga, sistem belajar akan lebih fleksibel, hasil yang dinilai
adalah karya siswa itu sendiri, guru sebagai pendamping tentu bisa melihat
perkembangan anak didiknya.