Powered by Blogger.

Blogroll

Total Pageviews

Friday, 12 August 2016

Full Day School, Tentang karakter suatu bangsa


Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy menggagas sistem Full Day School untuk pendidikan dasar (SD dan SMP). Wacana ini juga akan berlaku di sekolah negeri maupun swasta. Meski menggunakan kata “full day” program ini tidak mengharuskan anak untuk satu hari penuh berada di sekolah. Maksudnya anak akan tetap berada di sekolah sambil menyelesaikan tugas-tugasnya, hingga dijemput orangtuanya seusai jam kerja. Namun wacana kebijakan ini menuai kontroversi, pasalnya sistem pendidikan satu hari penuh ini dianggap tidak akan efektif dan malah memberi tekanan psikologis pada siswa. 
 Bagaimana menurut pandangan anda sendiri terkait kebijakan Mendikbud tersebut?
Siapkah para orang tua Indonesia melewatkan kebersamaan kepada anak seharian?
Kali ini penulis akan mencoba membahas dari sisi yang berbeda dari kebanyakan khalayak.
Sifat yang masih kental dimiliki oleh orang Indonesia adalah menerima hal baru, tidak hanya di dunia pendidikan. Bahkan pergantian BBM dari Premium ke Pertamak pun, kita harus menunggu suatu proses yang lumayan lama. Terkait suatu keputusan kebijakan, sebenarnya perkara yang sangat sederhana. Apapun keputusannya, jika itu suatu sistem yang sudah dianalogikan, pasti akan baik untuk diterapkan. Orang sering lupa pada rumus "keputusa tidak pernah salah", yang salah adalah bagaimana kita menjalan proses suatu keputusan tersebut.
Indonesia memang butuh angin segar untuk mengatasi masalah pendidikan, kebingungan menangani polemik yang selama ini ada, semua darurat, narkoba, pendidikan, dekadensi moral dan semua hampir komplek. Kebingungan itu bisa terlihat dari waktu ke waktu, kebijakan dari MenDikBud yang belum terealisasi dengan baik. Bahkan terkesan, setiap menteri memiliki visi-misi masing-masing. Yang jadi korban adalah anak bangsa itu sendiri, namun apa daya. Niat hati ingin memajukan anak bangsa, alih-alih anak bangsa terus menerus menjadi kelinci percobaan bagi mereka-mereka yang diberi wewenang menangani masalah ini.
Apakah hal yang paling krusial dengan perkara ini? benarkah tentang suatu nawacita seorang Mendikbud? Ataukah masyarakat? Atau ini tentang penyikapan kita bersama?
Terkait terlalu mainstremnya kebijakan tersebut bagi masyarakat rasakan, ada beberapa faktor yang mendasar yang perlu kita telaah pada masalah ini, yaitu Masih pesimisnya kita pada kebijakan pemerintah untuk menuntaskah problem ini. Mengapa, dengan sikap yang kurang lapang kita, terlalu cepat menghakimi kebijakan ini kurang bagus, jika kita sudah berfikiran demikian, mana mungkin kita percaya dan optimis untuk menjalankan program tersebut. Jika keberatan dengan alasan anak akan kurang perhatian dari orang tua, tidak kah kita melihat sistem pendidikan  yang ada di pesantren ata sekolah-sekolah asrama selama ini. Bahkan pendidikan di pesantren mewajibkan pelajar unutk tinggal seatap dengan para ustad agar mempermudah sistem kontroling.
Pun kebijakan dari MendikBud harusnya sudah mempunyai sistem yang baik, bukan wacana, agar masyarakat semakin mantap dan optimis untuk nyengkuyung nawacita luhur para Solihin di bumi pertiwi.
Lain-lain hal akan penulis lanjutkan di judul selanjutnya.

Pondok Sufi, 12/Al-Husain 04 MHD
Ditulis, di sela-sela aktifitas percetakan, sore usai maghrib/

0 komentar

Post a Comment